GENERASI yang kini berusia di atas 40 tahun pasti kenal dan masih hafal lagu Mojang Priangan yang pernah mencapai puncak ketenaran selama lebih dari sepuluh tahun sejak 1960. Selama periode itu, lagu tersebut berhasil mencapai masa jaya sehingga sekaligus mengangkat citra tentang mojang-mojang dari Priangan.
Sebagai lagu Sunda, Mojang Priangan berhasil memperpanjang masa jaya lagu-lagu Sunda yang sebelumnya dipopulerkan Upit Sarimanah (almarhum) dan Titim Fatimah (almarhum). Keduanya merupakan pesinden atau juru kawih lagu-lagu Sunda yang legendaris dan hingga kini belum ada gantinya.
Lagu Gamelan Sunda.rar
Juru kawih yang dikenal sangat selektif memilih nayaga pengiringnya itu ternyata masih tetap memiliki suara emas walaupun usianya sudah 71 tahun. Pantas jika belakangan ini ia dipilih menjadi pendamping Euis Komariah. Salah seorang penembang lagu-lagu Cianjuran tersebut tengah berusaha membawakan lagu-lagu tradisi yang biasa diiringi gamelan ke dalam tembang Cianjuran.
BIASA dipanggil "Mamah Iyar", ibu dua anak dan nenek tujuh cucu serta buyut empat cicit itu masih tampak gesit. Bahkan, untuk wanita seusianya, aktivitasnya tidak hanya sebatas mengikuti pengajian. Selain berusaha menularkan ilmunya, sesekali ia dipercaya menjadi juri dalam berbagai kegiatan lomba lagu-lagu Sunda.
Iyar Wiarsih bukan hanya dikenal sebagai juru kawih gamelan yang terkenal pada zamannya. Ia sekaligus merupakan saksi hidup masa jaya kesenian Sunda dan peran Radio Republik Indonesia (RRI). Pada saat itu, lagu-lagu Sunda berhasil mengungguli lagu-lagu Indonesia.
Coba saja, siapa yang tidak kenal dengan lagu Dikantun Tugas yang melukiskan nasib seorang istri yang ditinggal suaminya yang bertugas ke medan perang. Lagu tersebut ia ciptakan setelah Presiden Soekarno menyampaikan komando Trikora (Tiga Komando Rakyat).
Namun, Iyar bukan hanya dikenal sebagai juru kawih dengan suara emas. Ia dikenal pula sebagai pencipta lagu yang produktif. Selama kariernya sebagai juru kawih, ia mencipta tidak kurang dari 58 lagu. Beberapa lagu ciptaannya yang sempat populer antara lain Kalakay Murag, Wanita Jaya, Reret Mojang, dan Gutak-gitek.
Padahal, jika dilihat dari pendidikan formalnya di bidang kesenian, ia tidak berbeda dengan juru kawih lagu-lagu Sunda pada umumnya yang hanya mengandalkan praktik dari satu panggung ke panggung lainnya. Satu-satunya perbedaan terletak pada semangat dan ketekunannya untuk belajar. Kemampuannya dalam olah suara sudah diasah sejak kecil tatkala usianya baru sembilan tahun.
Lahir 21 September 1932 dari keluarga seniman tradisional di Kampung Cilunjar, Desa Sukasari, Kecamatan Pameungpeuk, sekitar 20 kilometer arah selatan Kota Bandung, bakatnya sudah tampak sejak kecil. Ayahnya, Enduy Kartaatmadja, dikenal sebagai pemetik kecapi dan pembawa wawacan (cerita atau kisah dalam bahasa Sunda yang dibawakan dalam bentuk dangding) kemudian menitipkan pada Sastra, temannya yang menjadi pemain rebab. Rebab adalah instrumen gesek dalam gamelan Sunda. "Saya belajar mengenal seni Sunda dari Pak Sastra," katanya tentang almarhum gurunya.
Dalam usianya yang masih sangat muda, anak pertama dari delapan bersaudara itu sudah belajar membawakan lagu-lagu dasar tatkala usianya baru menginjak sepuluh tahun. Setahun kemudian, Iyar yang saat itu sering dipanggil nyai oleh nayaga atau awak gamelan lainnya sudah diajak tampil di atas panggung. Dalam masyarakat Sunda, nyai sama artinya dengan neng, yakni panggilan untuk anak gadis.
Gadis remaja itu rupanya berusaha mengadu nasib di Ibu Kota. Setelah kemerdekaan, tahun 1947, ia sempat menjadi juru kawih gamelan Sekar Arum dan Satia Manah yang mengisi acara tetap di studio RRI Jakarta. Namun, setelah dua tahun, ia memutuskan kembali ke Bandung. Alasannya, honor yang diterima tidak memadai. Maklum, nasib kesenian pada awal kemerdekaan.
SETELAH kembali ke tempat dilahirkan, penulis buku Pasinden jeung Rumpakana (Juru Kawih dan Lirik Lagu) yang banyak dijadikan pedoman oleh pesinden-pesinden itu memperoleh pelajaran berkat pergaulannya dengan seniman-seniman kesenian Sunda. Apalagi setelah ia bergabung dalam gamelan Sundayana yang dipimpin suaminya, Warsa Muharam.
Lagu Mojang Priangan yang kemudian melahirkan penghargaan dari Gubernur Jawa Barat (1985) dan Bupati Bandung (1993) pada awalnya lahir dari sebuah senandung. Dengan bantuan kecapi, suaminya kemudian berusaha menyusun notasinya. Tetapi tatkala lirik lagu tersebut sudah selesai dikerjakan, ia bingung memberi judulnya. "Mula-mula diberi judul Putri Priangan," katanya.
MENEMPATI sebuah rumah sederhana di bilangan Padalarang, Bandung, Iyar Wiarsih yang pernah menjadi staf pengajar kepesindenan di Konservatori Karawitan Bandung (1966-1970) itu ternyata masih memperlihatkan ciri khas suara emasnya. Selama berbincang-bincang, pembicaraannya sesekali diseling dengan senandung, walau tanpa iringan gamelan.
Sayangnya, dukungan teknologi tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan penguasaan dalam membawakan lagu. "Juru kawih sekarang, baru bisa satu-dua lagu sudah tampil di atas panggung karena ukurannya bukan keterampilan, tetapi tampilan fisik," katanya. Mereka tidak memahami kaidah-kaidah sebagai juru kawih sehingga hal ini saling berpengaruh antara nasib lagu-lagu Sunda dan apresiasi masyarakatnya.
Padahal, seorang juru kawih harus mempelajari dulu dan menguasai lagu-lagu dasar, misalnya Sekar Ageung dan lagu lainnya. Para nayaga-nya juga harus memiliki apresiasi tinggi karena mereka benar-benar sebagai nayaga. "Bukan sebagai pekerjaan sambilan," tuturnya. Dengan demikian, ketika mereka tampil, kesalahan sekecil apa pun bisa segera terasa. Seorang juru kawih juga harus bisa menangkap "keinginan" dalang, kapan ia harus menembang dan kapan harus berhenti.
Sebagai anak bangsa kelahiran Salatiga, Jawa Tengah yang cinta terhadap Tanah Air-nya, Bunga Bangsa menancapkan misi untuk melestarikan budaya, bahasa dan musik tradisional di Indonesia. Ia masih menggunakan bahasa Jawa sebagai lirik dalam lagu terbarunya, dan mengeksplorasi penggunaan beberapa alat musik tradisional seperti gamelan, seruling, kecapi dan kendang yang lantas dibalut apik dalam kesatuan utuh dalam komposisi berkontur proggressive metal yang epik.
Kulu-Kulu Bem merupakan lagu yang diadopsi tembang sunda cianjuran dari genre kesenian kiliningan menjadi bagian dari lagu panambih. Otomatis karena mengalami reinterpretasi garap, diolah kembali, disesuaikan iringannya dengan instrumen yang lazim dalam penyajian tembang sunda cianjuran, maka suling menggantikan peranan rebab pada kiliningan. Hal itu diimplementasikan dengan uraian notasi di bawah.
Penyajian suling pada lagu Kulu-Kulu Bem diawali nada goong yang disesuaikan dengan nada goong pada tabuhan pangkat yang dibawakan pemain kacapi indung. Setelah itu melodi suling mengiringi penembang membawakan lagu. Kontur melodi yang dibawakan suling mirip dengan kontur melodi lagu penembang. Namun melodinya terkesan melilit melodi vokal dengan mengaplikasikan peranannya dalam merean, marengan, ngajojoan dan muntutan. Di samping itu pada beberapa bagian di tengah-tengah lagu, suling memainkan melodi tanpa vokal, yakni pada bagian gelenyu (alok). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada notasi sebagai berikut :
Ceurik Rahwana adalah repertoar lagu yang diadopsi dari pertunjukan wayang golek Sunda, yakni adegan Rahwana meratapi nasib menangisi kekeliruannya menyia-nyiakan kesetiaan dan cinta suci istrinya sendiri, Dewi Anjani. Tangisan Rahwana pada pertunjukkan wayang golek ditampilkan Ki Dalang dengan lantunan lagu khas dari tokoh Rahwana telah menyebar di kalangan para dalang wayang golek dari dulu. Lagu tersebut rupanya diadopsi oleh seniman tembang sunda cianjuran menjadi lagu yang diklasifikasikan ke dalam kelompok lagu rarancagan. Seseorang pernah bertanya mengapa lagu ini tidak dikategorikan sebagai wanda kakawen?
REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Tidak lama lagi, Universitas Gajah Mada (UGM) akan menghadirkan pagelaran musik Rhapsody of the Archipelago: Gamelan 4.0 (ROAR GAMA 4.0) pada 30 November 2019. Pagelaran musik unik ini merupakan kolaborasi alat musik tradisional gamelan dengan musik modern.
rwan mengatakan ide 'mengawinkan' gamelan dengan musik moderen ini berasal dari tumbuhnya kecintaan mahasiswa di Fisipol dan UGM secara umum terhadap gamelan. Sejak tiga tahun terakhir, sejumlah mahasiswa UGM mulai berlatih gamelan. Gamelan ini tak hanya diminati para siswa yang sudah mahir memainkan alat musik gamelan, tetapi juga oleh mahasiswa yang awam terhadap alat musik tersebut.
"Karena ada kecintaan terhadap itu, kami ingin mengadakan konser ini sebagai momentum kebangkitan musik Nusantara," tutur Erwan. Diharapkan anak muda kian menyukai seni tradisional gamelan. Bahkan gamelan dapat diperkenalkan ke dunia dan melakukan digitalisasi terhadap gamelan sehingga bisa lebih mudah dimainkan masyarakat luas dan dikolaborasikan dengan musik lain.
Ketua Kagama Ganjar Pranowo menilai sebagian orang mungkin menganggap gamelan hanya boleh dimainkan secara konvensional dan sesuai dengan pakem yang ada. Namun, Ganjar menilai upaya dan kreativitas generasi muda dalam melakukan inovasi untuk melestarikan dan mempromosikan musik tradisional juga sebaiknya tidak dibatasi.
Gamelan dipilih karena merupakan salah satu simbol penting di dalam ranah religi, kultural, hiburan hingga pengembangan di pulau Jawa. "Di budaya Jawa, gamelan ini telah menjadi spirit, bukan sekedar instrumen musik," kata Ari.
Ketua Panitia ROAR GAMA 4.0 Najib Azca mengatakan ROAR GAMA 4.0 akan menjadi pagelaran musik tahunan yang diselenggarakan UGM. Di tahun-tahun berikutnya, ROAR GAMA 4.0 juga akan lebih mengeksplorasi berbagai musik tradisional lain selain gamelan untuk ditampilkan. "ROAR GAMA 4.0 ini buah dari kegelisahan kami mengenai belum adanya sebuah festival musik berbasis musik tradisional yang mampu berdialog dengan teknologi dan moderenitas," tutur Najib.
Beberapa artis dan musisis yang akan tampil dalam ROAR GAMA 4.0 adalah Letto, FSTVLST, Tashoora, Mantra Vultura dan OM New Pallapa feat. Brodin. Pagelaran musik ini juga menggandeng Ishari Sahida alias Ari Wulu dan Sabrang Mowo Damar Panuluh alias Noe 'Letto' sebagai mitra kreatif untuk mewujudkan perhelatan kolosal gamelan. 2ff7e9595c
Comentarios